“BANGUN SHERLY…UDAH PAGI” teriak mama kepada Sherly di pintu kamar. “Bentar lagi ma..” keluh Sherly. “Nggak ada kata bentar lagi”. PAKKKK pukulan kencang mendarat di kaki Sherly ketika mama sudah berada di dekat Sherly. “AUUU…” teriak Sherly. Ya, setiap pagi Sherly selalu diperlakukan seperti itu oleh mamanya. Pasti sakit banget tuh, tapi mau di gimanain lagi? Sikap mamanya saja sudah kayak begitu. Memang, Sherly selalu sabar menghadapi semua itu. Sherly mempunyai adik yang bernama Ruben. Jika mereka berdua berantam pasti si Ruben terus yang dibelain. Secara, Ruben itu anak bungsu dan dia anak kesayangan mama.
“Mah…aku dapet nilai jelek” kata Ruben. “Memangnya ulangan apa sayang?” tanya mama pelan. “Hmm..ulangan IPA”. “Oh…ya udah gak apa-apa, sekarang kamu belajar ya supaya nggak jelek lagi nilainya”. “Iya ma”. Hhhh..kenapa sih kalo Ruben dapet nilai jelek gak dimarahin? Giliran aku langsung di pukul, batin Sherly. Ternyata Sherly diam-diam mengintip pembicaraan mamanya dan Ruben. Setiap pulang sekolah, Sherly selalu bercerita dengan teman dekatnya, Sylvia. Tak hanya bercerita pada temannya bahkan Sherly tak lupa untuk berdoa juga pada Tuhan. Setiap malam, Sherly berdoa untuk meminta kesabaran untuk mamanya. Bila Sherly sedang di marahi abis-abisan, pasti dia menangis sendiri di kamarnya. Ayah Sherly sudah meninggal ketika Ruben lahir. Padahal Sherly sangat sayang pada Ayahnya. Tapi Tuhan berkehendak lain. Jadi sampai sekarang ini hanya mamanya yang menjaga dan merawat Sherly dan Ruben.
“Syl..gimana nih?” tanya Sherly kepada Sylvia. “Gimana apanya?” tanya Sylvia heran. “Nilai ulangan matematika aku”. “Oh…siap batin ya Sher, itu udah gak bisa di ubah lagi”. “Maksudmu?”. “Iya, mamamu itu nggak bisa diubah jadi malaikat, kalo berubah juga mukjizat itu nyata”. “Tapi aku takut Syl”,. “Aduh Sher..maaf banget, aku nggak bisa bantuin kamu dalam hal ini”. “Terus gimana dong?”. “Hmm..nggak tau deh”. “Hhh..ya udahlah. Ntar sore aku SMS kamu ya Syl”. “Mau ngapain?”. “Mau kasih tau tempat pemakaman aku”. “Hush..ngomongnya Sher. Di jaga dong”. “Ya…mau digimanain lagi? Palingan nanti di pukulin habis-habisan terus mati”.
Malam harinya Sherly mondar-mandir di kamarnya. Sampai ada niat untuk kabur dari rumah. Aduh gimana nih? Aku takut banget, batin Sherly. Akhirnya, suara pintu berbunyi. Itu pertanda bahwa mamanya sudah datang. “Ruben…mama bawa hadiah nih” teriak mama dari lantai bawah. “Horeeee…hadiah apaan ma?” tanya Ruben penasaran. “Di buka aja”. Selotip demi selotip di buka oleh Ruben. “Wow…keren banget mah. Terima kasih ya ma”. “Iya sayang…sama-sama”. Ya ampun…Ruben di beliin handphone baru. Handphonenya Sherly saja masih yang CDMA dan itu juga dia beli sendiri. Tak tahan menahan rasa takut dan deg-degan, Sherly turun memberikan ulangannya itu. “Mah..ini ulanganku”, kata Sherly lembut dan sangat pelan. “Palingan jelek. Sudahlah buang aja tuh ulangan jelekmu itu”, kata mama marah. “Mamah kenapa sih sama Kak Sherly tuh galak banget? Emangnya Kak Sherly buat salah apa sama mama?”, kata Ruben berniat membela Sherly. “Cukup Ruben. Kamu nggak berhak untuk nanyain hal itu. Kamu masuk kamar aja, belajar. Sherly..kenapa kamu masih berdiri di situ aja? Sana pergi.”. Menahan air mata yang jatuh di pipinya, Sherly langsung pergi ke kamarnya. Seperti biasa, Sherly menangis. Sendiri. Di kamarnya. Berusaha untuk menahan tangisannya tetapi tidak bisa. “Apa lagi yang harus ku perbuat Tuhan? Aku tak tahan untuk menghadapi semua ini. Bimbing aku Tuhan”, kata Sherly dalam hati. Tak lama kemudian, Sherly tertidur.
“Gimana Sher, kemarin?” tanya Sylvia. “Yah..katanya mamaku di suruh dibuang aja”, jawab Sherly pelan. “Sabar ya”. “Pasti”. Hingga akhirnya bel istirahat pun berbunyi. “Sher, mau ke kantin nggak? Laper nih!” kata Sylvia. “Nggak ah. Lagi nggak mood”. “Ya udah deh”.
Waktu terus berjalan. Niat untuk kabur dari rumah selalu mengganggu pikiran Sherly. Seperti biasa, Sherly pulang sekolah hanya berjalan kaki. Ketika ia ingin menyebrang, tiba-tiba terlihat dari jauh nampak sebuah mobil yang melaju kencang. Dan akhirnya, BRUKKK!!! Sherly tertabrak dan mengalami kecelakaan. Pengemudi mobil tersebut langsung keluar dan turun. Ia langsung membawa Sherly ke rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, orang tersebut melihat Kartu Pelajar Sherly dan langsung menghubungi rumah Sherly. Dan ternyata yang mengangkat adalah Ruben. “Halo. Selamat siang. Apakah ini betul rumahnya Sherly Lestari?”, tanya orang tersebut. “Iya, benar. Saya adiknya. Ada apa ya, Om?”. “Begini dek, kakakmu masuk rumah sakit. Tadi siang saya sempat menabraknya”. “Oh…baik Om. Saya akan segera menelepon mama saya. Terima kasih ya Om. Tapi rumah sakit mana ya?”. “Rumah Sakit Persahabatan”. “Sekali lagi teima kasih ya Om”. “Iya sama-sama”.
Ruben pun langsung menelepon mamanya. “Halo ma”, kata Ruben. “Ada apa nak? Kok ngomongnya tergesa-gesa seperti itu?”, kata mama heran. “Begini ma, tadi ada orang yang menelepon dan orang itu bilang Kak Sherly masuk rumah sakit karena tertabrak”. “APA? Ya sudah, mama menjemputmu dulu lalu pergi ke rumah sakit. Oke!”. “Cepeten ya ma!”. “Oke, mama akan segera pergi”. Sesampai di rumah, Ruben langsung masuk mobil dan menuju rummah sakit yang dituju. Di tengah perjalanan, Ruben dan mama terlihat khawatir. “Mama menyesal Ben”, kata mama tiba-tiba. “Menyesal bagaimana ma?”, tanya Ruben heran. “Menyesal karena mama sering marahin Kak Sherly. Mama takut kalau…”. “Mama jangan berpikiran negative dulu. Rencana ada di tangan Tuhan. Kita berdoa saja ma”. “Iya nak, kamu memang benar. Rencana indah pada waktunya”. Tanpa disadari, mama meneteskan air matanya. Sesampai di rumah sakit, mama langsung menanyakan perawat dimana keberadaan kamar Sherly. ”Sus, saya mau tanya. Pasien yang bernama Sherly Lestari kamar nomor berapa ya?”, tanya mama. “Oh, anda ibunya ya? Sherlynya sudah dibawa ke ruang UGD”, kata perawat itu. “Terima kasih sus”. “Iya, sama-sama”. Dengan tergesa-gesa, Ruben dan mama langsung menuju ruang tersebut. Terlihat ada sosok laki-laki sedang menunggu. “Apakah anda orangtua dari Sherly”, tanya lelaki tersebut. “Iya benar. Saya ibunya”. “Kita harus berdoa semoga anak ini dapat selamat. Masalah administrasinya saya yang membayar”, kata lelaki tersebut. Selama setengah jam, dokter pun keluar. “Bagaimana dok keadaan anak saya? Dia baik-baik saja kan?”, tanya mama. “Hhhh..kami tetap berusaha keras untuk menyelamatkan dia. Tapi sekarang Ibu bisa masuk”, kata dokter. “Terima kasih dok. Ayo Ruben kita masuk”. Dengan rasa gemeteran mama dan Ruben masuk. “Sherly, mama ada di sini sayang”, kata mama lembut. “Mah…”, Sherly menjawab perlahan. “Mama minta maaf ya nak. Mama sudah sering memarahi kamu dan memukul kamu. Maafkan mama ya nak”. “Iya mah, aku sudah memaafkan mama dan Ruben. Tapi kali ini aku harus…..”. TIIIITTTTT. Terdengar suara dari alat elektro kardiografi yang menyatakan Sherly menghembuskan nafas terakhirnya. Semua berakhir. Tak terlihat lagi senyum manis dari Sherly. “DOKTER!”, teriak mama. Dokter pun langsung menuju ke ruang UGD. Dokter memeriksa Sherly dan memutuskan kalau Sherly memang sudah meninggal.
Penyesalan mama kepada Sherly sudah di maafkan oleh Sherly. Beberapa hari kemudian Sherly di makamkan. Teman-temannya pun berduka cita atas kepergian Sherly. Mama dan Ruben menangis. Setelah teman-teman dan sanak saudara Sherly pulang dari pemeakaman, mama dan Ruben masih tetap berada di situ. “Mulai hari ini, detik ini, mama akan memulai lembaran hidup baru. Dan kamu Ruben, jadilah anak yang baik seperti Kak Sherly yang selalu sabar”, kata mama. “Iya mah. Ruben janji”. Hari pun sudah sore. Mereka berdua pulang ke rumah. Ketika mama sampai di rumah, ia masuk ke kamar Sherly dan menemukan sebuah buku harian Sherly. Di halaman terakhir Sherly menulis.
Dear diary,
Semua berakhir bahagia. Sherly harap mama nggak
akan marah-marah lagi sama Sherly. Sherly juga selalu
berdoa sama Tuhan untuk meminta kekuatan. Sherly
ingin hidup bahagia seperti teman-teman Sherly.
Itu pasti akan terjadi. Sherly yakin itu.
Membaca buku harian Sherly mama menangis lagi. Sekarang mama akan berubah Sherly. Mama nggak akan lagi suka marah-marah. Semoga kamu bahagia di sisi Tuhan nak. Mama sayang kamu Sherly, kata mama dalam hati. Dan akhirnya mama menyimpan buku diary Sherly. Semua dimulai dari senyuman. Tidak ada lagi marah ataupun pilihkasih.
-S E L E S A I-
Karya : Yosepin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar